Hati Hati Ucapan Adalah Doa

Foto: jala

Riausastra.com
– Sungguh indahnya laksana oral dan tulisan kita senantiasa menghasilkan congor dan untaian kalimat-kalimat nan baik. Dengan kalimat nan baik tersebut diibaratkan seperti ki sebatang kacang pohon yang akarnya kuat mencengkram bumi, padahal cabangnya mengangkasa dan menghasilkan dedaunan yang bisa meneduhkan. Ada juga beberapa tanaman nan tidak hanya menghasilkan dedaunan, akan tetapi buah-buahan nan berjasa.

“Kalimat nan baik sebagai halnya tanaman yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit”.

Ada kalanya, kita cangap terlupa dengan kalimat-kalimat yang kita anggap sebagai sebatas candaan tetapi. Padahal, kita lupa kalau setiap congor boleh menjadi doa. Seperti cerita masa kerdil sendiri Rohaniwan Ki akbar Masjidil Palsu berikut ini:

Plong suatu hari, anak kecil ini berlari-lari, bertindak-main di saat ibunya sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut tamu nan akan menyekar ke rumah mereka. Momen hidangan sudah lalu cawis, anak kecil tersebut membawa kersik halus di genggamannya. Tanpa berpikir panjang, anak asuh katai itu mengandaskan ramal sehingga mengenai masakan yang mutakadim bersusah payah dihidangkan oleh ibunya. Dengan sangat terkejut dan dengan sekuat lever membendung amarah, si ibu langsung berfirman,

“Moga Allah merahmatimu dan kelak menjadi Imam Segara di Masjidil Liar!!”

Begitulah pendirian si ibu mengutarakan amarahnya. Wanita salihah itu mencerna sekali bahwa perkataan itu bisa sahaja spontan-tahun menjadi doa. Ternyata, di kemudian hari, ucapan itu menjadi nyata. Anak kecil itu telah menjadi Imam Besar di Masjidil Haram di masa kini. Dialah Imam Assudais, yang bacaan Al-Qurannya dikenal baik di heterogen penjuru bumi. Masya Allah.

Aku teringat ketika duduk di bangku SMA. Saat merasakan cak bertengger bulan di hari pertama dan kedua, aku belalah merasakan remai yang luar biasa. Ketika di asrama, padanan-temanku besar perut mencandaiku karena kondisiku yang terjerat manja setiap datang bulan tiba. Ditingkahi dengan candaan, kami setuju bahwa siapapun yang sedang datang rembulan akan disebut dengan blooding (pendarahan).

Detik itu, aku abolisi pulang dari sekolah karena rasa nyeri yang tidak bisa diajak kompromi. Saat suhu meminang alasanku cak hendak segera kembali ke asrama, serentak teman-teman perempuanku menjawab, “Blooding, Pak!”
Kami sekata bahwa kata “blooding” bisa mengambil alih kata datang rembulan laksana kata silih yang diselingi dengan candaan. Dan cak bagi kami, itu membawa gelak dan seremonial.

Setakat akhirnya, detik usiaku lain lagi SMA, lebih lagi telah pas dewasa dan paruh hamil anak keempat. Dengan belas kasihan Allah, aku tekun merasakan “blooding”. Setiap rembulan, aku harus merasakan perihnya pendarahan karena kondisi bakal manusia nan kukandung bakir dalam kondisi placenta previa totalis. Seluruh ari-hipodrom tumbuh tepat di mulut rahim sehingga menutup jalan lahir. Untuk bergerak adv minim saja, darah cegak akan mengalir. Akupun melalui masa-masa kehamilan dengan mondar-mandir pengabadian di flat sakit. Hingga di jiwa kehamilan karib tujuh bulan, pendarahan hebat lain bisa lagi dihentikan. Sakitnya luar absah. Aku seperti merasa seluruh tubuhku dikuliti. Bahkan aku kira, saat itu malaikat maut akan menjemputku hari itu. Sampai akhirnya, bayiku tertekan harus dilahirkan taajul detik itu juga dengan kondisi jantung dan peparu nan belum teladan.

Sejenang, sekiranya menghafal peristiwa blooding tersebut, aku pula akan teringat dengan candaan musim-musim SMA kami terlampau. Ternyata blooding itu lampau menyakitkan dan tidak ada apa-apanya jikalau dibandingkan dengan nyeri hinggap bulan.

Ada sesal ketika lewat menganggap kata “blooding” saja sebatas candaan. Sedemikian itu lagi di masa sekarang, masih banyak ucapan atau gubahan yang sering kita anggap biasa dan sahaja setakat candaan. Kita tengung-tenging takdirnya perkataan adalah doa. Dapat saja sesekali akan tercurahkan.
Perumpamaan:

  • Wiken gini cuma membabu aja di rumah.

Kata membabu sebenarnya hanya sampai candaan untuk menggantikan kata kemas-segeh. Padahal, jika kita benar-benar menjadi babu, karuan tidak semua orang akan siap. Lagipula, remeh sekali skor nan diperoleh jika hanya sebatas babu di rumah sendiri. Babu cuma bernasib baik upah berupa gaji. Sementara itu, tugas beres-beres di rumah bernilai syurga di sebelah Allah.

  • Induk piknik dulu ya, kendati setia waras.

Introduksi waras terlalu drastis untuk menggambarkan kerohanian seorang ibu/amputan. Sepatutnya kata waras diganti dengan “bahagia” atau “sunyi” atau yang lain yang lebih positif. Sedih aja jika kesibukan seorang istri dan ibu rumah tingkatan hampir disejajarkan dengan waras atau lain waras. Sedangkan, andai sekadar pahala berbentuk rumah berbenda alias mobil subur, mungkin kita akan bersaing-tanding kerjakan melakukan tugas rumah tangga denga hati dan sukma yang cemerlang. Meski sesungguhnya, balasan atas tugas mengurus rumah hierarki telah Tuhan siapkan ganjarannya konkret belas kasih yang khusus. Hanya saja, anugerah tersebut lain diserahkan sekarang.

  • Comelnya incess mama.

Niat sejumlah ibu menyebut anaknya dengan incess andai ungkapan bahwa sang anak yakni princess untuk ibunya. Hanya, ibu tersebut lupa bahwa incess memiliki kebaikan “hubungan intim yang dilakukan oleh sesama saudara kandung”.
Naudzubillah min dzalik. Sebaiknya, ibu sebut sekadar anaknya dengan kata “princess” jika memang pamrih ibu demikian. Jangan sekali lagi digunakan kata incess agar anak-momongan kita tegar terjaga dari segala hal buruk di kemudian waktu.

Begitulah dahsyatnya kata-pembukaan yang refleks-waktu bisa menjadi tahmid. Hendaknya lisan kita tetap terjaga. Sama dengan perkenalan awal pepatah, teko akan melepaskan sesuai dengan isinya. Demikian juga dengan lisan khalayak akan menghasilkan congor atau karangan nan sesuai dengan isi lever hamba allah tersebut.

Mari bijak memilih kalimat karena perkataan adalah tahlil 😍


Source: https://www.riausastra.com/2020/03/02/hati-hati-dalam-berkata-setiap-perkataan-adalah-doa/